1. Teks Surat An Nahl Ayat 125
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”[1]
2. Asbab An-Nuzul Surat An Nahl ayat 125
Para mufasir berbeda pendapat seputar sabab an-nuzul
(latar belakang turunnya) ayat ini. Al-Wahidi menerangkan bahwa ayat
ini turun setelah Rasulullah SAW. menyaksikan jenazah 70 sahabat yang
syahid dalam Perang Uhud, termasuk Hamzah, paman Rasulullah.[2]
Al-Qurthubi menyatakan bahwa ayat ini turun di Makkah ketika adanya
perintah kepada Rasulullah SAW, untuk melakukan gencatan senjata (muhadanah) dengan pihak Quraisy. Akan tetapi, Ibn Katsir tidak menjelaskan adanya riwayat yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut.[3]
Meskipun
demikian, ayat ini tetap berlaku umum untuk sasaran dakwah siapa saja,
Muslim ataupun kafir, dan tidak hanya berlaku khusus sesuai dengan sabab an- nuzul-nya (andaikata ada sabab an-nuzul-nya). Sebab, ungkapan yang ada memberikan pengertian umum.[4] Ini berdasarkan kaidah ushul:
أَنَّ الْعِبْرَةَ لِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَبِ
Artinya:
“Yang menjadi patokan adalah keumuman ungkapan, bukan kekhususan sebab”[5]
Setelah kata ud‘u (serulah) tidak disebutkan siapa obyek (maf‘ûl bih)-nya. Ini adalah uslub (gaya pengungkapan) bahasa Arab yang memberikan pengertian umum (li at-ta’mîm).[6]
Dari
segi siapa yang berdakwah, ayat ini juga berlaku umum. Meski ayat ini
adalah perintah Allah kepada Rasulullah, perintah ini juga berlaku untuk
umat Islam. Sebagaimana kaidah dalam ushul fikih :
خطاب الرسول خظاب لامته مالم يرد دليل التحصيص
Artinya:
“Perintah Allah kepada Rasulullah, perintah ini juga berlaku untuk umat Islam, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.” [7]
3. Beberapa Pendapat Ahli Tafsir
a. Tafsir Al-Jalaalayn
{
ادع } الناس يا محمد صلى الله عليه وسلم { إلى سَبِيلِ رَبّكَ } دينه {
بالحكمة } بالقرآن { والموعظة الحسنة } مواعظة أو القول الرقيق { وجادلهم
بالتى } أي المجادلة التي { هِىَ أَحْسَنُ } كالدعاء
إلى الله بآياته والدعاء إلى حججه { إِنَّ رَّبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ } أي
عالم { بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بالمهتدين } فيجازيهم ،
وهذا قبل الأمر بالقتال . ونزل لما قتل حمزة
Artinya:
“Serulah (manusia, wahai Muhammad) ke jalan Rabb-mu (agama-Nya) dengan hikmah (dengan al-Quran) dan nasihat yang baik (nasihat-nasihat atau perkataan yang halus) dan
debatlah mereka dengan debat terbaik (debat yang terbaik seperti
menyeru manusia kepada Allah dengan ayat-ayat-Nya dan menyeru manusia
kepada hujah). Sesungguhnya Rabb-mu, Dialah Yang
Mahatahu, yakni Mahatahu tentang siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan
Dia Mahatahu atas orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Maka Allah
membalas mereka. Hal ini terjadi sebelum ada perintah berperang. Ketika
Hamzah dibunuh (dicincang dan meninggal dunia pada Perang Uhud)” [8]
b. Tafsir al-Qurthuby
هذه
الآية نزلت بمكة في وقت الامر بمهادنة قريش، وأمره أن يدعو إلى دين الله
وشرعه بتلطف ولين دون مخاشنة وتعنيف، وهكذا ينبغى أن يوعظ المسلمون إلى يوم
القيامة. فهى محكمة في جهة العصاة من الموحدين، ومنسوخة بالقتال في حق
الكافرين. وقد قيل: إن من أمكنت معه هذه الاحوال من الكفار ورجى إيمانه بها
دون قتال فهى فيه محكمة. والله أعلم.
Artinya:
“(Ayat ini diturunkan di Makkah saat Nabi SAW. diperintahkan untuk bersikap damai kepada kaum Quraisy. Beliau diperintahkan untuk menyeru pada agama Allah dengan lembut (talathuf), layyin, tidak bersikap kasar (mukhasanah), dan tidak menggunakan kekerasan (ta’nif). Demikian pula kaum Muslim; hingga Hari Kiamat dinasihatkan dengan hal tersebut. Ayat ini bersifat muhkam dalam kaitannya dengan orang-orang durhaka dan telah di-mansûkh oleh ayat perang berkaitan dengan kaum kafir. Ada
pula yang mengatakan bahwa bila terhadap orang kafir dapat dilakukan
cara tersebut, serta terdapat harapan mereka untuk beriman tanpa
peperangan, maka ayat tersebut dalam keadaan demikian bersifat muhkam. Wallâhu a’lam.)” [9]
c. Tafsir At-Thabary
(
ادْعُ ) يا محمد من أرسلك إليه ربك بالدعاء إلى طاعته( إِلَى سَبِيلِ
رَبِّكَ ) يقول: إلى شريعة ربك التي شرعها لخلقه، وهو الإسلام(
بِالْحِكْمَةِ ) يقول بوحي الله الذي يوحيه إليك وكتابه الذي ينزله عليك(
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ) يقول: وبالعبرة الجميلة التي جعلها الله حجة
عليهم في كتابه ، وذكّرهم بها في تنزيله، كالتي عدّد عليهم في هذه السورة
من حججه ، وذكّرهم فيها ما ذكرهم من آلائه( وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ ) يقول: وخاصمهم بالخصومة التي هي أحسن من غيرها أن تصفح عما
نالوا به عرضك من الأذى، ولا تعصه في القيام بالواجب عليك من تبليغهم رسالة
ربك.
Artinya:
“Serulah (Wahai Muhammad, orang yang engkau diutus Rabb-mu kepada nya dengan seruan untuk taat ke jalan Rabb-mu,
yakni ke jalan Tuhanmu yang telah Dia syariatkan bagi makhluk-Nya yakni
Islam, dengan hikmah (yakni dengan wahyu Allah yang telah diwahyukan
kepadamu dan kitab-Nya yang telah Dia turunkan kepadamu) dan dengan
nasihat yang baik (al-mau’izhah al-hasanah, yakni dengan
peringatan/pelajaran yang indah, yang Allah jadikan hujah atas mereka di
dalam kitab-Nya dan Allah telah mengingatkan mereka dengan hujah
tersebut tentang apa yang diturunkan-Nya. Sebagaimana yang banyak
tersebar dalam surat ini, dan Allah mengingatkan mereka (dalam ayat dan surat
tersebut) tentang berbagai kenikmatan-Nya). Serta debatlah mereka
dengan cara baik (yakni bantahlah mereka dengan bantahan yang terbaik),
dari selain bantahan itu engkau berpaling dari siksaan yang mereka
berikan kepadamu sebagai respon mereka terhadap apa yang engkau
sampaikan. Janganlah engkau mendurhakai-Nya dengan tidak menyampaikan
risalah Rabb-mu yang diwajibkan kepadamu.) [10]
d. Tafsir al-Qurân il-‘Azhîm
يقول
تعالى امرا رسوله محمدا صلى الله عليه وسلم ان يدعو الخلق بالحكمة.قال ابن
جرير:وهوما انزله عليه من الكتاب والسنة.{والموعظة الحسنة} اي : بما فيه من الزواجر والوقاءع
بالناس
دكرهم بها ليحذروا باء س الله تعلى. { وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ } أي: من احتاج منهم إلى مناظرة وجدال، فليكن بالوجه الحسن برفق
ولين وحسن خطاب، كما قال: { وَلا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلا
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ } [العنكبوت:46] . فأمره تعالى بلين الجانب، كما أمر موسى وهارون، عليهما السلام، حين بعثهما إلى فرعون فقال: { فَقُولا
لَه قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى } [طه :44]
وقوله: إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِين.َ أي: قد علم الشقي منهم والسعيد، وكتب ذلك عنده وفرغ منه، فادعهم إلى الله، ولا تذهب نفسك على من ضل منهم حسرات، فإنه ليس عليك هداهم إنما أنت نذير، عليك
البلاغ، وعلينا الحساب
Artinya:
“(Allah,
Zat Yang Mahatinggi, berfirman dengan memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad
SAW., untuk menyeru segenap makhluk kepada Allah dengan hikmah. Ibn
Jarir menyatakan, bahwa maksud dari hal tersebut adalah apa saja yang
diturunkan kepadanya baik al-Quran, as-Sunnah. Dan nasihat yang baik,
artinya dengan apa saja yang dikandungnya berupa peringatan (zawâjir) dan realitas-realitas manusia. Memperingatkan mereka dengannya supaya mereka waspada terhadap murka Allah SWT. Debatlah
mereka dengan debat terbaik’ artinya barang siapa di antara mereka yang
berhujah hingga berdebat dan berbantahan maka lakukanlah hal tersebut
dengan cara yang baik, berteman, lembut, dan perkataan yang baik. Hal ini seperti firman Allah SWT. dalam surat al-‘Ankabut (29): 46 (yang artinya): Janganlah
kalian berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling
baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka. Dia
memerintahkannya untuk bersikap lembut seperti halnya Dia memerintahkan
hal tersebut kepada Musa a.s. dan Harun a.s. ketika keduanya diutus
menghadap Fir’aun seperti disebut dalam surat Thaha (20) ayat 44 (yang artinya): Katakanlah oleh kalian berdua kepadanya perkataan lembut semoga dia mendapat peringatan atau takut. Firman-Nya “Sesungguhnya Rabb-mu Dialah Maha Mengetahui terhadap siapa yang sesat dari jalan-Nya”
artinya Sungguh Dia telah mengetahui orang yang celaka dan bahagia di
antara mereka. Dan Allah telah menuliskan dan menuntaskan hal itu
disisinya. Oleh karena itu, serulah mereka kepada Allah, dan janganlah
engkau merasa rugi atas mereka yang sesat, sebab bukanlah kewajibanmu
menjadikan mereka mendapatkan petunjuk, engkau semata-mata pemberi
peringatan, engkau wajib menyampaikan dan Kami yang wajib
menghisabnya.)”[11]
4. Analisis Tafsir An Nahl ayat 125
a. Makna Hikmah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hikmah diartikan sebagai kebijaksanaan, kesaktian dan makna yang dalam.[12] Secara bahasa al-hikmah berarti ketepatan dalam ucapan dan amal.[13] Menurut ar-Raghib, al-hikmah berarti mengetahui perkara-perkara yang ada dan mengerjakan hal-hal yang baik.[14]
Menurut Mujahid, al-hikmah adalah pemahaman, akal, dan kebenaran dalam
ucapan selain kenabian. At-Thabary mengatakan bahwa Hikmah dari Allah
SWT bisa berarti benar dalam keyakinan dan pandai dalam din dan akal. [15]
Adapun Abdul Aziz bin Baz bin Abdullah bin Baz berdasarkan penelitiannya menyimpulkan bahwa hikmah mengandung arti sebagai berikut:
والمراد
بها: الأدلة المقنعة الواضحة الكاشفة للحق، والداحضة للباطل؛ ولهذا قال
بعض المفسرين: المعنى: بالقرآن؛ لأنه الحكمة العظيمة؛ لأن فيه البيان
والإيضاح للحق بأكمل وجه، وقال بعضهم: معناه: بالأدلة من الكتاب والسنة.
Artinya:
“Dan
yang dimaksud dengan hikmah adalah: petunjuk yang memuaskan, jelas,
serta menemukan (mengungkapkan) kebenaran, dan membantah kebatilan. Oleh
karena itu, telah berkata sebagian mufassir bahwa makna hikmah adalah
Al-Qur’an, karena sesungguhnya Al-Qur’an adalah hikmah yang agung.
Karena sesungguhnya di dalam Al Qur’an ada keterangan dan penjelasan
tentang kebenaran dengan wajah yang sempurna (proporsional). Dan telah
berkata sebagian yang lain bahwa makna hikmah adalah dengan petunjuk
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.”[16]
Pernyataan
Abdul Aziz Bin Baz tersebut sejalan dengan pendapat sebagian mufasir
terdahulu seperti As-Suyuthi, dan Al-Baghawi, As-Samarkandy yang mengartikan hikmah sebagai al-Quran.[17] Dan Ibnu Katsir yang menafsirkan hikmah sebagai apa saja yang diturunkan Allah berupa al-Kitab dan As-Sunnah.[18]
Penafsiran tersebut tampaknya masih global. Mufasir lainnya lalu menafsirkan hikmah secara lebih rinci, yakni sebagai hujjah atau dalil. Sebagian mensyaratkan hujjah itu harus bersifat qath‘i (pasti), seperti an-Nawawi al-Jawi. Yang lainnya, seperti al-Baidhawi, tidak mengharuskan sifat qath‘i, tetapi menjelaskan karakter dalil itu, yakni kejelasan yang menghilangkan kesamaran[19]. An-Nawawi al-Jawi menafsirkan hikmah sebagai hujjah yang qath‘i yang menghasilkan akidah yang meyakinkan[20]. An-Nisaburi menafsirkan hikmah sebagai hujjah yang qath‘i yang dapat menghasilkan keyakinan[21]. Al-Baidhawi dan Al-Khazin mengartikan hikmah dengan ucapan yang tepat (al-maqâlah al-muhkamah), yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran dan menyingkirkan kesamaran (ad-dalil al-muwadhdhih li al-haq wa alimuzîh li asy-syubhah)[22]. Al-Asyqar menafsirkan hikmah dengan ucapan yang tepat dan benar (al-maqâlah al-muhakkamah ash-shahîhah).
Kesimpulannya, jumhur mufasir menafsirkan kata hikmah dengan hujjah atau dalil. Dari ungkapan para mufasir di atas juga dapat dimengerti, bahwa hujjah yang dimaksud adalah hujjah yang bersifat rasional (‘aqliyyah/fikriyyah), yakni hujjah
yang tertuju pada akal. Sebab, para mufasir seperti al-Baidhawi,
al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi mengaitkan
seruan dengan hikmah ini kepada sasarannya yang spesifik, yakni golongan yang mempunyai kemampuan berpikir sempurna.
Al-burhân al-‘aqlî (argumentasi logis) yang di maksud adalah argumentasi
yang masuk akal, yang tidak dapat dibantah, dan yang memuaskan. Yang
dapat mempengaruhi pikiran dan perasaan siapa saja. Sebab, manusia tidak
dapat menutupi akalnya di hadapan argumentasi-argumentasi yang pasti
serta pemikiran yang kuat. Argumentasi logis mampu membongkar rekayasa
kebatilan, menerangi wajah kebenaran, dan menjadi api yang mampu
membakar kebobrokan sekaligus menjadi cahaya yang dapat menyinari
kebenaran.
Hikmah,
memang, kadangkala berarti menempatkan persoalan pada tempatnya;
kadangkala juga berarti hujjah atau argumentasi. Dalam ayat ini, tidak
mungkin ditafsirkan dengan makna menempatkan persoalan pada tempatnya.
Makna hikmah dalam ayat ini adalah hujah dan argumentasi
Dakwah
atau pengajaran dengan cara hikmah, umumnya diberikan oleh seseorang
untuk menjelaskan sesuatu kepada pendengarnya yang ikhlas untuk mencari
kebenaran. Hanya saja, ia tidak dapat mengikuti kebenaran kecuali bila akalnya puas dan hatinya tenteram.
2. Makna Mau‘izhah Al-hasanah.
Sebagian mufasir menafsirkan mau’izhah hasanah (nasihat/peringatan yang baik) secara global, yaitu nasihat atau peringatan al-Quran (mau’izhah al-Qur’an).
Demikian pendapat al-Fairuzabadi, as-Suyuthi, dan al-Baghawi. Namun,
as-Suyuthi dan al-Baghawi sedikit menambahkan, dapat juga maknanya
perkataan yang lembut (al-qawl ar-raqîq).
Merinci tafsiran global tersebut, para mufasir menjelaskan sifat mau’izhah hasanah
sebagai suatu nasihat yang tertuju pada hati (perasaan), tanpa
meninggalkan karakter nasihat itu yang tertuju pada akal. Sayyid Quthub
menafsirkan mau’izhah hasanah sebagai nasihat yang masuk ke dalam hati dengan lembut (tadkhulu ilâ al-qulûb bi rifq).[23] An-Nisaburi menafsirkan mau’izhah hasanah sebagai dalil-dalil yang memuaskan (ad-dalâ’il al-iqna’iyyah), yang tersusun untuk mewujudkan pembenaran (tashdîq) berdasarkan premis-premis yang yang telah diterima.[24] Al-Baidhawi dan Al-Alusi menafsirkan mau’izhah hasanah sebagai seruan-seruan yang memuaskan/meyakinkan (al-khithâbât al-muqni‘ah) dan ungkapan-ungkapan yang bermanfaat (al-‘ibâr al-nâafi‘ah).[25] An-Nawawi al-Jawi menafsirkannya sebagai tanda-tanda yang bersifat zhanni (al-amârât azh-zhanniyah) dan dalil-dalil yang memuaskan.[26] Al-Khazin menafsirkan mau’izhah hasanah dengan targhîb (memberi dorongan untuk menjalankan ketaatan) dan tarhîb (memberikan ancaman/peringatan agar meninggalkan kemaksiatan).[27]
Dari berbagai tafsir itu, karakter nasihat yang tergolong mau’izhah hasanah ada dua: Pertama,
menggunakan ungkapan yang tertuju pada akal. Ini terbukti dengan
ungkapan yang digunakan para mufasir, seperti an-Nisaburi, al-Baidhawi,
dan al-Alusi, yakni kata dalâ’il (bukti-bukti), muqaddimah (premis), dan khithâb (seruan). Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi akal untuk memahami. Kedua,
menggunakan ungkapan yang tertuju pada hati/perasaan. Terbukti, para
mufasir menyifati dalil itu dengan aspek kepuasan hati atau keyakinan.
An-Nisaburi, misalnya, mengunakan kata dalâ’il iqnâ‘iyyah (dalil yang menimbulkan kepuasan). Al-Baidhawi dan al-Alusi menggunakan ungkapan al-khithâbât al-muqni‘ah (ungkapan-ungkapan yang memuaskan). Adanya kepuasan dan keyakinan (iqnâ‘)
jelas tidak akan terwujud tanpa proses pembenaran dan kecondongan hati.
Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi hati untuk meyakini atau puas
terhadap sesuatu dalil. Di antara upaya untuk menyentuh perasaan adalah
menyampaikan targhîb dan tarhîb, sebagaimana ditunjukkan oleh Al-Khazin.
Al-Quran telah mempraktikkan hal tersebut, pada saat ia menyeru pemikiran ia pun mempengaruhi perasaan manusia. Oleh karena itu di dalam proses pengajaran dan pendidikan hendaklah mengandung unsur-unsur tersebut. Adapun mau’izhah al hasanah atau nasihat yang baik, umumnya dengan cara memberikan berita gembira dan berita peringatan dari Allah Pencipta alam. Misalnya firman Allah SWT.dalam Surat Al-A’raf ayat 179:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آَذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ
كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Artinya:
“Sesungguhnya
Kami telah menjadikan isi neraka Jahanam itu kebanyakan dari jin dan
manusia. Mereka mempunyai pikiran tetapi tidak dipergunakan untuk
memahami (ayat-ayat Allah). Mereka mempunyai mata tetapi
tidak dipergunakan untuk memperhatikan (ayat-ayat Allah). Mereka juga
mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengarkan
(ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”.[28]
Seruan dengan mau‘izhah hasanah ini tertuju pada orang-orang yang kemampuan berpikirnya tidak secanggih golongan yang diseru dengan hikmah,
tetapi masih mempunyai fitrah yang lurus. Demikian menurut al-Baidhawi,
al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi.
[1]Sunaryo,dkk, op.cit, Hal.421.
[2]Al-Wahidi, Al Wajid fi Tafsir Kitab Al Ajizi, Mawaqi’ At-Tafasir ,Mesir, tt, hal. 440/ 1.Lihat juga: Al-Wahidi An- Nasyabury, Asbâb an-Nuzul, Mawaqiu’ Sy’ab, t-tp, tt, 191/1
[3]Abu Al-Fida Ibn Umar Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al –Adzim, Tahqiq oleh Samy bin Muhammad Salamah, Dar at-Thoyyibah Linasyri Wa Tawji’, Madinah , 1420 H, Hal.613/IV.
[4] Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki, Zubdah al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, tp, tt, t-tp, hlm. 12;.
[5] As Sarkhasy, Ushul As Sarkhasy, Mawaqi’u ya’sub, tt, t-tp, Hal.164/I.
[6] Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, tp, tt, t-tp, hlm. 132;
[7] Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Darul Ummah, Beirut, 1997, hal.241/III.
[8] Muhammad bin Ahmad, Abdurrahman bin Abi Bakr al-Mahalli, As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Dar ul-Hadîts, Kairo, tt, Halaman 363.
[9] Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farah al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Dâr Sya’b, Kairo, 1373 H, Hal.200/10.
[10] Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid Ath Thabari,Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Al-Qur’an, Muassatur Risalah, Mesir, 1420 H, Hal.321/17
[11] Abu Al-Fida Ibn Umar Ibn Katsir, Tahqiq oleh Samy bin Muhammad Salamah, Tafsir Al-Qur’an Al –Adzim,Dar At-Thoyyibah Linasyri wa Tawji’, Madinah 1420 H,Hal.613/IV.
[12] Hasan Alwi,dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, op.cit, Hal.401.
[13] Ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, tp, t-tp, tt, hal. 451/2
[14] Shihab al-Din al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993.Hal. 82/XI.
[15] Abu Jafar At-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, op.cit., Hal. 269/5
[16] Abdul Aziz bin Baz, Ad Da’wati Ilaa Allah Wa Akhlaqi Ad Da’aati, Mawaqi’u Al-Islam, Arab Saudi, tt, Hal.25/I.
[17] Muhammad bin Ahmad, Abdurrahman bin Abi Bakr al-Mahalli, As-Suyuthi, loc,cit. Lihat juga: Abu Muhammad Al Baghawi, Ma’alim At Tanjil, Dar at-Thoyyibah Linasyri Wa At Tawji’, Madinah 1417 H, hal 52/V. Lihat juga: Abu Al Lays A Samarkandy, Bahrul Ulum, Mawaqi’u at -Tafasir, t-tp, tt, Hal.491/2
[18]Abu Al-Fida Ibn Umar Ibn Katsir,loc.cit
[19] Al-Baidhawi, Anwar At Tanjil Wa Asror At Ta’wil, Mawaqi’u At Tafasir, tp, t-tp, tt, Hal. 393/III
[20] Lihat:An- Nawawi Al jawi, Marah Labid Tafsir An Nawawi,tp, t-tp, tt, I/516
[21] An-Nisaburi,Tafsir An Nisabury,Mawaqiu At Tafqair, t-tp, tt, Hal 65/V
[23] Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zilalil Qur’an ,tp, t-tp, tt, Hal. 292/ XIII.
[24] An-Nisaburi, loc.cit.
[25] Al-Baidhawi, op.cit.,Hal.394/III ; Lihat juga :Al-Alusi, Ruhul Ma’ani Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, Mawaqi’u at-Tafaasir, t-tp, tt Hal. 487/V.
[26] An- Nawawi Al jawi, Marah Labid Tafsir An Nawawi,tp, t-tp, tt, Hal. 517/I
[28]Sunaryo,dkk, Al-Qur’an dan Terjemahnya,Depag RI, cet:CV Asy-Syifa,Semarang 1992,Hal.251.
[28] Al-Wahidi, Al Wajid fi Tafsir Kitab Al Ajizi, Mawaqi’ At-Tafasir ,Mesir, tt, hal. 440/ 1.Lihat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar